Seminar Rabuan: Bagaimana Photovoice Membantu Masyarakat Inklusif Terhadap Orang dengan HIV
Yogyakarta, 19 Maret 2025 – Departemen Biostatistika, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi (BEPH) FK-KMK UGM kembali menggelar Seminar Rabuan dengan tema “Bagaimana Photovoice Membantu Masyarakat Inklusif Terhadap Orang dengan HIV”. Acara ini menghadirkan Dr. Ami Kamila, S.ST., M.Kes sebagai narasumber dan dipandu oleh moderator Widyawati, S.Kp., M.Kes., Ph.D.
Dalam sambutannya, Dr.dr.Mubasysyir Hasanbasri, MA selaku kepala prodi Magister Kesehatan Masyarakat FK-KMK UGM menekankan pentingnya membangun inklusivitas dalam kesehatan populasi. Menurutnya, kesehatan tidak boleh eksklusif hanya bagi individu tertentu, melainkan harus mencakup seluruh populasi tanpa diskriminasi. Ia juga menyoroti tantangan besar dalam membangun inklusivitas sosial, terutama dalam menghilangkan stigma terhadap orang dengan HIV (ODHIV).
Dr. Ami Kamila dalam paparannya menekankan bahwa hilirisasi bukan hanya strategi dalam sektor industri, tetapi juga penting dalam bidang sosial dan kesehatan masyarakat. Ia menyoroti bahwa tantangan utama dalam penanganan HIV bukan hanya terkait dengan pencegahan dan pengobatan medis, tetapi juga dalam menghapus stigma dan diskriminasi. Salah satu cara efektif untuk menjembatani pemahaman antara masyarakat dengan ODHIV adalah melalui pendekatan photovoice.
Photovoice merupakan metode penelitian partisipatif yang menggabungkan foto dan narasi pribadi sebagai media untuk menyampaikan realitas sosial yang dihadapi individu atau komunitas tertentu. Dalam risetnya, Dr. Ami Kamila menemukan bahwa photovoice tidak hanya mampu meningkatkan empati, tetapi juga berperan sebagai intervensi sosial yang menghadirkan pengalaman nyata ODHIV kepada masyarakat luas.
Dalam sesi diskusi, Dr. Ami menjelaskan bahwa stigma masih menjadi akar permasalahan utama dalam penanganan HIV. Ia mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan masih kerap menunjukkan diskriminasi, baik secara sadar maupun tidak. Beberapa kasus mencerminkan diskriminasi yang masih terjadi, seperti penolakan untuk berjabat tangan dengan pasien HIV, penggunaan alat pelindung diri (APD) secara berlebihan, hingga perlakuan berbeda dalam layanan kesehatan.
Salah satu bentuk konkret dari penerapan photovoice adalah pameran virtual yang menampilkan dokumentasi pengalaman hidup ODHIV. Beberapa foto yang ditampilkan menggambarkan realitas pahit yang dialami populasi kunci, seperti dikucilkan oleh keluarga, mendapatkan ancaman kekerasan, hingga menghadapi diskriminasi dalam layanan kesehatan. Menurut Dr. Ami, pameran ini menjadi sarana refleksi yang efektif bagi masyarakat dan tenaga kesehatan dalam memahami lebih dalam realitas yang dihadapi ODHIV.
Dari temuan penelitian, photovoice terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran dan empati masyarakat. Setelah mengikuti pameran, banyak tenaga kesehatan yang menyadari bahwa stigma masih sangat kuat dan bahwa mereka memiliki peran penting dalam menghilangkannya. Dalam sebuah pameran di Bandung, perubahan persepsi masyarakat terhadap populasi kunci terlihat signifikan, dan banyak peserta yang mengungkapkan empati yang lebih besar terhadap ODHIV.
Namun, Dr. Ami juga menyoroti tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi photovoice. Kurangnya ruang ekspresi bagi komunitas terdampak, minimnya dukungan dari berbagai sektor, serta resistensi masyarakat dalam menerima isu ODHIV masih menjadi kendala besar. Oleh karena itu, ia berharap photovoice dapat terus dikembangkan dan menjadi alat advokasi yang lebih luas guna membangun masyarakat yang lebih inklusif, empati, dan berkeadilan.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta, Bu Heni dari KIA-KR, menanyakan apakah ada studi dari negara lain yang dapat dijadikan referensi dalam mengatasi stigma terhadap ODHIV. Dr. Ami menjelaskan bahwa berbagai kampanye global telah dilakukan untuk mengurangi stigma, termasuk kampanye “3 Zero” yang menargetkan nol infeksi HIV, nol kematian akibat AIDS, dan nol stigma serta diskriminasi. Namun, implementasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama karena stigma di masyarakat masih tinggi.
Sebagai langkah ke depan, ia menegaskan bahwa edukasi dan advokasi melalui photovoice perlu diperluas, dengan kolaborasi antara tenaga kesehatan, masyarakat, dan pemerintah. Dengan demikian, upaya menghapus stigma dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dapat terus berkembang dan memberikan dampak nyata bagi ODHIV dan populasi kunci.
Penulis: Nanda Melania D.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!